Resensi Buku “Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia”

Ada apa dengan cukai tembakau? Berbagai pertanyaan tentang cukai tembakau menjadi sorotan dari mereka yang mengetahui dan fokus pada komoditas yang satu ini, termasuk salah satunya dari penulis buku. Begitu pula resensi buku “Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia”.

resensi-buku-ironi-cukai-tembakau-karut-marut-hukum-pelaksanaan-dana-bagi-hasil-cukai-hasil-tembakau-indonesia
(Gambar: cintabuku.id)

Banyak sekali ulasan yang membahas tentang isi buku ini, salah satunya yang ditulis oleh Ade Faizal Alami, yang catatannya pernah dimuat dalam Majalah Gatra. Tentu saja banyak hal yang meanrik, yang diperjelas oleh ulasan dari Ade Faizal ini.

Identitas Buku:

  • Judul Buku: Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia.
  • Penulis: Gugun El Guyani, dkk.
  • Penerbit: Indonesia Berdikari, Jakarta.
  • Cetakan: Mei 2013.
  • Jumlah Halaman: xiv + 190 halaman.

Resensi Buku Non Fiksi “Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia”

Semua orang para pelaku bisnis di Indonesia tahu bahwa cukai hasil tembakau menjadi penyumbang terbesar dari seluruh penerimaan negara dari pungutan pajak. Dan tentu saja yang sering menjadi pertanyaan adalah pengelolaan dan penggunaan dana bagi hasil ternyata menimbulkan banyak persoalan.

Pada tahun 2008, industri hasil tembakau ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung. Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) juga tidak sedikit.

Baca juga: Resensi Buku “Pendidikan Karakter Berbasis Total Quality Management – Konsep & Aplikasi di Sekolah”.

Data Direktorat Jenderal perbendahaarn Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2011 memperlihatkan, pendapatan negara dari CHT merupakan bagian terbesar dari seluruh penerimaan negara dari pungutan pajak dalam negeri.

Bahkan pada tahun 2012, realisasai CHT sebesar Rp. 84,4 Triliun atau sebesar 95,5% terhadap total penerimaan cukai. Tentu saja hal ini melampaui proyeksi pemerintah dalam RAPBN sebesar Rp. 83,3 Triliun.

Sebesar 2% dari CHT kemudian dibagikan kepada propinsi yang banyak menyumbang cukai kretek tersebut. Jawa Timur mendapat kucuran alokasi dana bagi hasil (DBH) atas CHT paling besar setiap tahunnya. Pada tahun 2012, Jawa Timur mendapatkan DBT-CHT sebesar Rp. 689 Miliar, kemudian alokasi definitif mencapai Rp. 817,6 Miliar. Besarnya alokasi yang diterima Jawa Timur tidak lepas dari keberadaan industri hasil tembakau. Sebagian besar dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur adalah daerah penghasil tembakau dan produk turunannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2009, setidaknya terdapat lima jenis kegiatan yang dibiayai oleh DBH-CHT, yaitu peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan hasil kena cukai.

Adapun besaran alokasi untuk masing-masing dari lima jenis kegiatan di atas sangat beragam di seluruh daerah. Demikian pula dengan alokasi untuk berderet kegiatan turunannya, sehingga menciptakan konfigurasi alokasi dana yang rumit.

Hasil penelitian menyebutkan terdapoat tiga hal yang menimbulkan banyak persoalam dan penggunaan DBH-CHT, yaitu:

  1. Kewenangan pihak eksekutif terlalu besar dalam menentukan arah penyaluran DBH-CHT.
  2. Aturan mengenai besaran alokasi kegiatan yang kurang jelas.
  3. Sanksi ringan jika terjadi penyalahgunaan, yaitu hanya penghentian kucuran DBH-CHT.

Terdapat temuan di lima daerah peneriman DBH-CHT, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan DI Yogyakarta, yang memperlihatkan bahwa sangat sedikit pemerintah daerah yang melibatkan pihak legislatif serta masyarakat sipil. Termasuk kalangan yang seharusnya menerima manfaat dalam penentuan peruntukan DBH-CHT. Hasilnya pengetahuan dan pengawasan berbagai pihak di luar lingkaran eksekutif menjadi minim, sehingga membuka celah dan peluang besar bagi pihak eksekutif melakukan tafsir ‘mana suka’ dalam penggunaan DBH-CHT.

Persoalan yang ditemukan di semua daerah adalah terjadinya ketimpangan alokasi antar-kegiatan. Terdapat dua pola umum, yaitu:

  • Sulitnya menemukan daerah yang menerapkan pembagian DBH-CHT yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nyata dari para penerima manfaat utama dari dana itu.
  • Pembinaan lingkungan sosial menjadi kategori kegiatan yang paling banyak ditafsirkan  secara bebas, sehingga paling sering mendapat alokasi terbesar.

Dalam pandangan tim penulis melihat terdapat dominasi yang sangat kuat atas “rezim kesehatan”. Pada hal ini frase “pembinaan lingkungan sosial” menjadi jalan masuk legal untuk memanfaatkan DBH-CHT.

Itu dia sedikit informasi tentang resensi buku “Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia”. Semoga informasi ini bermanfaat.

Belum ada Komentar untuk "Resensi Buku “Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel