Karakter Unik Konsumen Indonesia

Indonesia memiliki lebih dari 220 juta penduduk dengan ratusan suku yang tersebar di berbagai pulau. Sekali pun berbeda-beda suku dan bahasa, namun pasti ada kesamaan karakter yang bisa menjadi patokan bagi para marketer untuk bisa menjalankan strategi marketing. Maka 10 karakter unik konsumen Indonesia ini bisa menjadi referensi yang pas untuk menjalankan strategi marketing, untuk itu Anda harus berhati-hati dalam menyelami karakter ini.

karakter-unik-konsumen-indonesia
Ilustrasi (Gambar: quinnbehaviour.weebly.com)

Sepuluh karakter ini memang banyak menjadi bahan perbincangan di kalangan para marketer. Menurut Handi Irawan yang merupakan Chairman Frontier Consulting Group, sebagai konseptor 10 karakter khas konsumen Indonesia yang juga dimuat dalam Majalah Marketing edisi khusus ini menuturkan bahwa saat ini para marketer sering terjebak untuk menjalankan strategi yang terlalu melawan arus. Penglihatan mereka masih terpaku pada area yang yang terbatas dan belum melihat dari sudut “helicopter view”. Contohnya para konsumen yang banyak berpikir sederhana tapi diberikan sesuatu yang rumit.

Terdapat 10 karakter konsumen yang dimaksud, antara lain:

  1. Berpikir jangka pendek (short term perspective).
  2. Tidak terencana (unplaned behavior).
  3. Suka berkmpul (like to socialize).
  4. Gagap teknologi (not adaptize to high technology).
  5. Berorientasi pada konteks (context oriented).
  6. Suka merek luar negeri (receptive to COO effect).
  7. Religius (religious).
  8. Gengsi
  9. Kuat di subkultur (strong in subculture).
  10. Kurang peduli lingkungan (low conciousness towards environment).

Dari berbagai karakter tersebut, terdapat beberapa karakter yang sudah dipahami sebagai sifat bangsa ini, seperti senang bersosialisasi dan lebih menyukai buatan asing. Dengan hal seperti itu, maka sudah pasti akan mempengaruhi cara pemilik merek untuk menjalankan strategi pmasaran.

Karakter #1: Berpikir Jangka Pendek

Kalau Anda menganggap bahwa konsumen Indonesia memiliki pikiran panjang, ternyata anggapan ini salah besar! Ternyata sebagian besar konsumen Indonesia hanya berpikir jangka pendek dan sulit diajak berpikir jangka panjang.

Apa yang bisa dilakukan para pemasar menghadapi perilaku jangka pendek ini?

Ternyata mencari yang serba intan adalah jawabannya, dan menjadi ciri orang-orang yang cenderung berpikir jangka pendek, untuk mencari produk yang bisa memberi benefit jangka pendek untuk menyelesaikan masalah yang ada di depan mata saja.

  • Mengandalkan Bajet.

Salah satu indikasi besarnya konsumen yang memiliki pikiran jangka pendek ini adalah maraknya kredit konsumsi. Selain didorong sulitnya cash flow rumah tangga, fenomena ini juga didorong oleh perhitungan yang hanya melihat kebutuhan jangka pendek, yakni mendapatkan barang dengan cara cepat.

Memang sifat berpikir seperti ini (short term) juga dipicu oleh krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Penurunan daya beli membuat konsumen harus berpikir untuk mencari solusi dalam jangka pendek dulu.

Membeli poduk berdasarkan bajet atau anggaran juga menjadi ciri konsumen yang berpikir short term. Hal ini sering terjadi pada produk konsumsi, seperti rokok atau kartu seluler.

  • Langsung ke sasaran.

Yang menjadi prtanyaan, apa yang harus dilakukan oleh para pemasar? Maka jika ingin mendapatkan pasar yang lumayan, para pemasar ini harus bisa menawarkan short term benefit atau keuntungan jangka pendek.

Positioning produk yang hanya sekedar mencegah, tidak mudah diterima oleh konsumen Indonesia. Contohnya adalah tema mengobati secara langsung barangkali bisa mejadi tema iklan yang tepat.

  • Diskon cocok untuk konsumen berpikiran pendek

Premis Handi Irawan D tentang perilaku konsumen yang berpikiran short term ternyata sejalan dengan survei-survei perilaku konsumen yang ada.

Salah satunya survei yang dilakukan AC Nielsen, berdsarkan survei tersebut, sebagian besar konsumen Indonesia ternyata menyukai aktivitas promosi yang memberikan benefit langsung.

Hal ini terlihat dari 66% responden yang memilih promosi khusus yang menawarkan tambahan ekstra kuantitas. Ternyata hadiah dan diskon masih cocok untuk konsumen berpikiran jangka pendek ini

Karakter#2: Tidak Terencana

Dapat dipahami bahwa konsumen Indonesia termasuk konsumen yang tidak terbiasa merencanakan sesuatu, sekalipun sudah dilakukan, tapi kebanyakan mereka akan mengambil keputusan pada saat-saat terakhir. Oleh karena itu, para pemasar harus serba fleksibel untuk memenuhi kebutuhan konsumen semacam ini.

Dari berbagai aktivitas yang mudah dilihat, memang kebiasaan orang Indonesia yang cenderung enggan untuk merencanakan sesuatu dari jauh hari. Kebiasaan ini agak mirip dengan kebiasaan konsumen nomor satu (short-term perspective).

Namun, jika kebiasan yang pertama tidak melihat jauh ke depan, kebiasaan kedua ini tidak menyiapkan sesuatu jauh di belakang. Kebiasaan “kebut semalam” memang sepertinya menjadi ciri khas orang Indonesia. Kebiasaan ini tidak hanya menghinggapi konsumen kelas menengah ke bawah tetapi juga kelas menengah ke atas.

Baca juga: Kepuasan Kerja dan Hubungannya dengan Kinerja.

Salah satu bentuk perilaku konsumen yang tidak terencana adalah terjadinya impulse buying. Namun demikian impulse buying sendiri memiliki kadar tertentu.

Impulse buying merupakan perilaku orang yang tidak merencanakan sesuatu dalam berbelanja. Konsumen yang melakukan impulse buying tidak berpikir untuk membeli produk atau merek tertentu. Mereka langsung melakukan pembelian karena ketertarikan pada merk atau produk saat itu juga.

Rock dan Fisher misalnya pernah mendefinisikan impulse buying sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan, tiba-tiba dan otomatis.

Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa impulse buying adalah sesuatu yang alamiah dan merupakan reaksi yang cepat. Jadi impulse buying ini bisa terjadi dimana saja dan kapan sja.

Karakter#3: Suka Berkumpul

Ternyata kebiasaan suka berkumpul sudah melekat dalam budaya konsumen Indonesia. Komunikasi word of mouth menjadi sangat efektif untuk pasar Indonesia.

Kata kunci disini adalah “word of mouth sangat ampuh”.

Menurut Hary Susianto, Phd dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, “Dalam istilah sosiologi, kita ini adalah bangsa yang kolektivis. Sementara orang barat dinilai lebih individual.”

Menurut Handi Irawan D, Chairman Frontier Consulting Group, “Karakter suka berkumpul itu merupakan cermin dari kekuatan pembentukan grup dan komunitas. Kekuatan komunitas ini sangat besar pengaruhnya terhadap strategi pemasaran. “Salah satu strategi yang penting adalah strategi komunikasi. Proses komunikasi yang menggunakan word of mouth menjadi sangat efektif membantu penetrasi pasar dari suatu merk”.

Opinion Leaders

Menurut Roy Goni, seorang pengamat pemasaran dari Unika Atma Jaya ini menyampaikan, “Dalam membidik konsumen yang suka berkumpul, strategi yang paling efektif saat ini lebih ke arah word of mouth marketing, termasuk menggunakan internet sebagai alat penyebar informasi.”

Masih menurut Roy Goni, “Komunitas-komunitas yang berdasarkan interest atau hobi merupakan media pemsaran yang paling efektif. Komunitas itu perkumpulan yang sangat powerfull, sehingga pemasaran melalui komunitas saat ini menjadi efektif daripada memakai iklan komersial di televisi yang menurun efektivitasnya.”

Word of mouth merupakan strategi yang berkaitan erat dengan reference groups. Kelompok-kelompok yang dijadikan sumber referensi oleh konsumen ini terdiri dari teman-teman, tetangga, perkumpulan dan keluarga. Dalam memutuskan produk apa yang dibeli, konsumen biasanya lebih mengandalkan opini dari kelompok referensi daripada informasi dari iklan atau dari tenaga penjual.

Bahkan lebih jauh lagi, dalam setiap kelompok pasti ada pemimpinnya. Para opinion leaders ini adalah figur-figur yang dianggap berbakat, berpengetahuan dan bisa menggerakkan anggota-anggota yang lain.

Karakter#4: Gagap Teknologi

Sub judul disini yang juga menjadi kata kunci adalah “Jadi follower lebih menguntungkan”.

Rendahnya penetrasi teknologi tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa konsumen kita relatif masih “gaptek”. Karena itu, sebaiknya jangan menjadi pionir disini.

“Gaptek” alias gagap teknologi memang termasuk ciri unik konsumen Indonesia, dan rata-rata konsumen di negara berkembang lainnya. Indikasi ini jelas terlihat pada dua kategori teknologi yang berhubungan erat dengan pemasaran, telepon seluler dan internet.

Baca juga: Meningkatkan Pelayanan dengan Courtesy, Assertiveness, Responsibility dan Empathy.

Menurut Handi Irawan D, “Kedua teknologi ini bisa menjadi tolak ukur bagaimana suatu bangsa memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas mereka sebagai konsumen.”

Karakter#5: Orientasi pada Konteks

Kata kuncinya adalah “Bermain di Selubung bukan Isi”.

Konsumen kita cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru menarik ketimbang hal itu sendiri.

Mungkin disini yang menjadi ide pada pembahasan kali ini, apa “keistimewaan” konsumen Indonesia bila dibandingkan di tempat lain? Menurut seorang praktisi periklanan, jawabannya adalah konsumen kita lebih mudah “terhipnotis” iklan dan kemasannya. Artinya, kalau Anda seorang produsen atau marketer produk barang atau jasa di Indonesia, sepertinya pekerjaan Anda akan lebih mudah jika berhasil mengemas produk itu dengan sebaik mungkin dan iklannya juga menarik, dengan catatan teap memperhatikan kualitas produknya.

Karakter#6: Suka Merek Luar Negeri

“Merek Indonesia masih dipersepsi murah”

Ternyata konsumen Indonesia tidak benar-benar mencintai produk Indonesia, alasannya menyangkut image dan kualitas merek luar negeri yang dipersepsi lebih baik dan bergengsi bila dibandingkan buatan Indonesia.

Selain itu, masalah gengsi menjadi sifat konsumen Indonesia, hal ini tercermin dari perilaku nomor delapan tentang “gengsi”. Konsumen Indonesia kadang-kadang membeli sesuatu yang tidak benar-benar dibutuhkan hanya karena gengsinya.

Contohnya, ketika membeli barang berteknologi tinggi, sebagian besar dari mereka sering kali tidak mengerti kegunaannya secara detail. Barang itu dibeli secara gengsi. Asal memahami menu standar sudah cukup bagi mereka.

Country of Origin

Dalam bahasa pemasaran, strategi yang mereka jalankan ini termasuk dalam strategi country of origin (COO). Artinya mereka mempergunakan negara sebagai dasar strategi merek atau positioning.

Dalam teori perdagangan internasional, setiap negara memiliki latar belakang ekonomi, politik, sumber daya dan budaya yang memberikan keunggulan untuk bersaing (competitive advantage). Keunggulan ini tentu saja tidak akan tercipta tanpa adanya kualitas, karena pasar selalu mengaitkan keunggulan produk dengan kualitas. 

Itulah sebabnya, para pemasar sering menempelkan label ‘made in”. Jika merk tersebut buatan negara yang memiliki kompetensi dalam menghasilkan produk tersebut, maka ekspektasi terhadap kualitas barang tersebut relatif menjadi tinggi pula.

Baca juga: The Hamburger of Happiness.

Karena adanya pengaruh yang siginifkan antara negara asal suatu merek dengan perilaku pembelian, maka tidak jarang para pemasar menggunkan coutry of origin ini. Contohnya Dunkin Donut menggunakan slogan “American No. 1 Donut”. Strategi ini dijalankan oleh Dunkin karena mereka sadar bahwa donat buatan Amerika akan dipersepsi lebih enak daripada donat buatan negara lain.

Mengerek Premium Price

Yang sangat jelas tertuang dari ide COO (Country of Origin) adalah harapan untuk menetapkan harga premium.

Seperti yang dijelaskan sebelumya, bahwa sebuah merek yang dipersepsi berasal dari sebuah negara yang mempuanyai kekuatan pada kategori produk dari merek tersebut, akan memiliki persepsi kualitas yang tinggi. Persepsi kualitas sendiri mempunyai hubungan yang searah dengan harga. 

Artinya, tingginya persepsi kualitas ini akan membuka peluang untuk menciptakan harga premium. Konsep ini tentunya dapat menjelaskan alasan mengapa parfum dari Paris, misalnya memiliki harga yang lebih mahal bila dibandingkan dengan negara lainnya.

Karakter#7: Religius (Suka dengan Simbol-simbol Agama)

Yang menjadi catatan disini adalah konsumen Indonesia sangat peduli dengan isu agama. Namun, daripada menggunakan endoser tokoh agama, lebih baik menggunakan simbol-simbol agama saja. Benarkah begitu?

Kepedulian konsumen soal agama tercermin dari perilaku mereka dalam memilih produk yang berlabel halal.

Menurut Suroso Natakusuma, yang pernah menjadi Ketua Umum Forum Komunikasi Pangan Indonesia (FKPI), “Kepedulian konsume soal agama tercermin dari perilaku mereka dalam memilih produk berlabel halal. Kebanyakan konsumen Indonesia, khususnya yang beragama Islam, terlebih dahulu memperhatikan label halal jika ingin membeli suatu produk.”

Terhadap isu agama, konsumen Indonesia memang sangat peduli. Hal ini menjadi salah satu karakter khas konsumen Indonesia yang percaya pada ajaran agamnya. Konsumen akan lebih percaya jika perkataan itu dikemukakan oleh seorang tokoh agama, ulama atau pendeta. Konsumen juga suka dengan produk yang mengusung simbol-simbol agama. Dan sudah lama para pelaku bisnis memanfaatkan simbol-simol agama dalam melakukan strategi pemasarannya.

Satu hal menarik dari karakter konsumen Indonesia adalah adanya perbedaan sensitivitas antara konsumen muslim dengan konsumen bergama lain. Dalam buku Winning Strategy, Handi Irawan D mangatakan bahwa konsumen muslim paling sensitiv bila dibandingkan konsumen yang beragama Kristen atau Katolik dalam hal sikap dan perilaku konsumsi. Implikasinya, produk-produk yang diasosiasikan dengan merek yang beragama Kristen tidak akan sesukses produk yang diasosiasikan untuk kaum muslim.

Kedua, konsumen lebih melibatkan faktor emosi yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan dalam pembelian produk low involvement dibandingkan dengan produk high involvement.

Dari sisi pasar, Indonesia merupakan pasar yang sangat besar. Kendati demikian, para marketer juga harus hati-hati. Sebab konsumen Indonesia sangat sensitif dengan agama. Sekali kejeblos dalam soal agama, khususnya Islam, produsen akan sulit melakukan pencitraan kembali. Untuk menghadapi konsumen seperti ini, marketer lebih baik mengikuti norma-norma agama yang dianut oleh mereka. Pemasangan label halal di kemasan produk makanan atau minuman atau obat-oabatan adalah salah satu strategi agar produk bisa diterima oleh mereka.

Karakter#8: Gengsi

Maksudnya adalah para pemasar harus mampu menawarkan emotional value. Konsumen Indonesia sangat getol dengan gengsi. Banyak yang ingin cepat naik “status” meskipun belum waktunya.

Menurut Handi Irawan D, terdapat tiga budaya dan norma di masyarakat Indonesia yang menyebabkan gengsi, antara lain:

Pertama, konsumen Indonesia suka bersosialisasi. Hal ini kemudian mendorong orang untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer.

Kedua, kita masih menganut budaya feodal yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya terjadi pemberontakan untuk cepat pindah kelas.

Ketiga, masyarakat kita mengukur kesuksesan dengan materi atau jabatan. Akibatnya, banyak di antara kita ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan materi yang dimiliki.

Baca juga: Keputusan Konsumen Dalam Menentukan Pembelian Suatu Produk.

Karakter gengsi ini bisa dijelaskan dengan memakai teori Maslow tentang level kebutuhan manusia. Menurutnya kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisik, seperti makanan dan minuman. Setelah itu, kebutuhan yang bersifat keamanan dan kenyamanan dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah kebutuhan bersosialisasi. Pada level keempat (self esteem), manusia sudah menempatkan gengsi, status, dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Sedang pada level kelima atau  yang tertinggi (self-actualization) manusia sudah mulai mengisi kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan berbagi dengan orang lain.

Nah disinilah intinya, produk yang menjual gengsi adalah produk yang bisa menawarkan “emotional value” guna memenuhi kebutuhan self-esteem, yaitu kepuasan konsumen untuk meningkatkan status mereka di mata orang lain (gengsi). Sebagian besar dari orang kaya di Indonesia, biasanya lebih fokus kepada self-esteem, bukan self-actualization.

Karakter#9: Kuat di Subculture

Budaya lokal dan kekuatan etnis di Indonesia masih cukup besar. Namun demikian, dalam penggarapannya, perlu berhati-hati, karena ada nilai-nilai yang tidak sama di setiap suku bangsa.

Meskipun konsumen Indonesia gengsi dan menyukai produk luar negeri, namun terdapat unsur fanatisme kedaerahan yang ternyata cukup tinggi. Ini bukan berarti bertentangan dengan hukum perilaku yang lain. Pada produk-produk tertentu, ada hal-hal yang bersifat lokal yang memang harus diperhatikan. Contohnya, orang Jawa yang suka manis, orang Padang yang suka rasa pedas, dan lain-lain.

Menurut Jack Trout, secara primordial, manusia memiliki kecenderungan untuk berkelompok dan mencari kesamaan dengan kelompok besarnya. Trout juga menggambarkan bahwa kelompok tersebut merupakan gerombolan besar dimana masing-masing individu didalamnya cenderung mengikuti arus kelompok itu. 

Dengan keragaman berbagai kelompok budaya Indonesia pada akhirnya memang memunculkan perilaku kolektif dari masing-masing kelompok yang harus diperhatikan oleh pemasar.

Wajar saja, negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memang memunculkan beberapa sifat kedaerahan yang tidak bisa dilepaskan. Oleh karena itu, ada merek-merek yang bisa bertahan di daerah, karena memanfaatkan konteks lokal ini.

Harus diakui ada kekuatan subculture (budaya lokal) di sisi konsumen Indonesia, yang sayangnya tidak dieksplorasi lebih jauh oleh merek-merek lokal, akibatnya tidak banyak merek lokal yang bisa bertahan di daerahnya.

Tidak Menguasai Semua Medan

Dengan adanya subculture yang berbeda ini, seringkali juga menyebabkan tidak semua merek nasional bisa menguasai semua “medan pertempuran”. Kadang-kadang ada market leader yang kalah oleh para pemain lain (challenger) di beberapa kota.

Konten Lokal

Ketika kita ingin masuk dengan strategi subculture, tidak ada langkah awal yang lebih baik daripada menjalankan riset terlebih dahulu. Riset ini antara lain untuk menggali value atau nilai-nilai yang diyakini oleh sebuah etnis atau suku bangsa tertentu.

Nathalia Prie dalam sebuah jurnal yang berjudul “Cultural Value”, membagi-bagi cultural value tersebut dalam beberapa bentuk. Contohnya adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan alam, hubungan dengan individu, kekuasaan dan lain-lain. Ada etnis yang bersifat individualis dan ada yang cenderung komunal. Ada yang senang melakukan sesuatu dan ada yang senang menjadi sesuatu. Ada yang menghargai waktu dan ada yang tidak. Ada yang didominasi  pria dan ada yang didominasi wanita.

Semua value ini sangat penting untuk diteliti terlebih dahulu karena jika tidak memahami value ini bisa membuat merek kita ditolak oleh etnis tertentu. Setelah melakukan penggalian data tersebut, baru kemudian kita menyusun strategi pemasaran yang sesuai dengan value tersebut.

Bagaimana pemasar bisa menjalankan strategi pemasaran yang tepat untuk konsumen yang memiliki sub culture yang kuat ini?

Pertama, tentunya adalah dengan membuat konten-konten lokal untuk kegiatan komunikasi.

Strategi lain adalah dengan memperkuat aktivitas below the line di daerah.

Karakter#10: Kurang Peduli Lingkuangan

Sudah bukan rahasia, konsumen Indonesia kurang peduli pada lingkungan. Jadi, berhati-hatilah jika meggunakan elemem ramah lingkungan dalam positioning.

Banyak perusahaan Indonesia yang memposisikan produknya sebagai produk yang ramah lingkungan. Akan tetapi banyak juga yang tidak efektif. Konsumen Indonesia memang tidak siap atau tidak menjadikan faktor lingkungan sebagai faktor penting dalam memilih suatu merek.

Jika di luar negeri faktor lingkungan menempati ranking atas, tidak demikian dengan konsumen Indonesia yang menempatkan faktor lingkungan di urutan paling belakang.

Itu dia informasi tentang “10 karakter unik konsumen Indonesia” yang disampaikan oleh Handi Irawan yang merupakan Chairman Frontier Consulting Group, sebagai konseptor 10 karakter khas konsumen Indonesia. Semoga bermanfaat.

Belum ada Komentar untuk "Karakter Unik Konsumen Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel