Resensi Buku “Harga Sebuah Hati”

Ada yang menarik kali ini, yaitu tentang kumpulan cerpen yang ditulis oleh cerpenis dan penulis yang tidak asing dalam dunia sastra. Resensi Buku “Harga Sebuah Hati” - Antologi Cerpenis Rumah Dunia yang sengaja ingin memberikan gambaran tentang isi cerita dari buku ini.

Resensi Buku “Harga Sebuah Hati”
Buku “Harga Sebuah Hati”

Buku ini merupakan sebuah antologi cerpenis Rumah Dunia yang kedua, setelah Kacamata Sidik. Dengan menulis cerpen, maka para penulis tersebut bisa menggalang dana untuk biaya operasional Rumah Dunia, karena lima puluh persen royalti dari setiap pengarang tersebut disumbangkan ke Rumah Dunia.

Identitas Buku:
Judul buku: Harga Sebuah Hati - Antologi Cerpenis Rumah Dunia.
Penulis: Tias Tatanka dan kawan-kawan.
Penerbit: PT. Andal Krida Nusantara.
Tahun terbit: Cetakan ke-1, Mei 2006.
Tebal buku: 142 halaaman.
ISBN: 979-98229-7-1.

Resensi Buku Fiksi “Harga Sebuah Hati”

Cerpen atau yang sering disebut dengan cerita pendek, merupakan salah satu seni prosa yang membutuhkan kecerdasan khusus. Dan hal inilah yang membuat para penulis cerpen dituntut untuk bisa menorehkan imajinasi, dengan kata yang sedikit, namun dalam racikan yang pas, tanpa harus sedikitpun mengorbankan intensitas emosi. Begitu pula dalam antologi cerita ini yang dibingkai dengan pesona yang maksimal yang akan menarik daya imajinasi pembacanya. Harga sebuah hati yang menjadi judul buku ini adalah judul cerpen pertama yang disampaikan dalam antologi cerpen ini karya Tias Tatanka.

Terdapat 10 judul cerpen yang disampaikan, antara lain:

  1. Harga Sebuah Hati, karya Tias Tatanka.
  2. Baju Baru Buat Lebaran, karya Toto ST Radik.
  3. Si Dul Ingin Sekolah, karya Qizink La Aziva.
  4. Diantar Kematian, karya Iman Nur Rosyadi.
  5. Tiga Lelaki yang Memberiku Cahaya, karya Gola Gong.
  6. Seulas Senyum di Awan Mendung, karya RG Kedung Kaban.
  7. Fay Si Heroik, karya Wangsa Nestapa.
  8. Seroja, karya Najwa Fadia.
  9. Bandot, karya Firman Venayaksa.
  10. Tuhan, Beri Aku Uang, karya Aji Setiakarya.

Baca juga: Resensi Novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!”

1. Harga Sebuah Hati.

Cerpen yang ditulis oleh Tias Tatanka ini menceritakan seorang anak yang hidupnya harus berakhir tragis hingga menjadi seorang pemulung. Kehidupannya pun berubah, dari Ntong yang dulunya hidup di kampung dan tinggal bersama neneknya di sebuah desa kecil di wilayah Lebak Banten.

Hingga pada suatu saat, bapak Ntong bersikeras mengajaknya ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah petak di belakang Pasar Jatinegara, Jakarta. Dan kepercayaan Ntong pada bapaknya yang membuat hati Ntong mau mengikuti kehendak sang bapak untuk ke Jakarta.

Ntong percaya, Bapaknya orang baik, yang tidak pernah menikah lagi, karena sangat mencingai almarhumah ibunya. Hingga pada suatu ketika, terjadi suatu peristiwa, yaitu seseorang terluka dengan hebat yang membuat teman-teman Ntong, meminta Ntong yang menolongnya. Dan betapa terkejutnya Ntong, pria yang ditolongnya adalah lelaki yang dihajar bapaknya yang merupakan bekas suami Mak Romlah.

Dan lelaki itu datang ke rumah Mak Romlah, dan akhirnya mereka bertengkar. Bapak Ntong hendak melerai, namun lelaki yang ditolong Ntong tersebut mengajaknya duel. Bapak Ntong pun menerima tantangannya.

“Bapak harus menerima tantangannya, Ntong! Harga diri bapak mau dikemanakan di depan Mak Romlah?”

Inilah yang membuat Ntong bersedih, kepercayaanya pada sang bapak telah hancur, dihancurkan oleh perilaku bapak. Segalanya tidak ada nilainya kini. Pertolongan pada orang itu, kekaguman pada sosok bapak selama ini, pekerjaan yang dilakukannya serasa tak berarti. Hidup yang selama ini dijalaninya sia-sia, tak berharga sama sekali.

2. Baju Baru Buat Lebaran.

Cerpen karya Totok ST Radik ini merupakan cerpen gambaran hidup saat ini yang serba sulit.

Tokoh sentral dalam cerpen ini bernama Mustaqim, seorang suami yang baik, suami dari Siti dan ayah dari dua orang anak, Rizal dan Annisa.

Inti utama cerita cerpen ini adalah pertentangan batin dan hati nurani dari seorang Mustaqim yang hanya seorang staf biasa golongan II-B, dimana gaji plus tunjangan lainnya tidak sampai 1 juta, belum dipotong angsuran pinjaman bank dan koperasi hanya tersisa Rp. 450 ribu saja.

Kebutuhan mendekati hari raya, ditambah harus mudik setelah lama tidak mudik, dan anaknya yang meminta baju baru. Pada akhirnya membuat Mustaqim mau menerima uang Rp 500 ribu tersebut.

Bagi Mustaqim uang 500 ribu tersebut sangat besar, yang bisa untuk membeli baju baru dan bisa untuk mudik ke Banten Selatan.

“Baju baru Ayah! Baju baru buat lebaran, Ayah! Teman-teman Rizal juga udah pada beli! Buat Nisa juga ya, yan! Baju Rizal dan Nisa kan udah pada jelek.”

Dan akhirnya, suara jernih hati nurani kejujuran kalah dengan kebutuhan hidup.

3. Si Dul Ingin Sekolah.

Cerpen karya Qizink La Aziva ini menunjukkan retorika dan fenomena masyarakat saat ini. Diantara kelebihan harta yang dimiliki orang berduit, ternyata masih ada orang seperti Surip, yang bingung untuk mendaftarkan sekolah anaknya.

Dan di balik kegundahan Surip atas kesulitan ekonomi yang dihadapinya, Surip pun harus meregang nyawa saat mencari nafkah, yang melerai anak tawuran.

4. Diantar Kematian

Cerpen karya Iman Nur Rosyadi ini menceritakan kisah dan fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, yaitu kemiskinan, kekecewaan atas kondisi yang mereka alami dan juga terjerat hutang. Yang membuat mereka mudah dipengaruhi orang lain dengan impian hidup enak.

Seperti yang terjadi dengan Warti, berkat bujuk rayu Ibu Bardi bisa membawa Warti di sebuah perusahaan penampungan perusahaan penyalur jasa tenaga kerja Indonesia di Klender Jakarta Timur.

Bahkan kedatangan Sunarya agar Warti pulang dan melihat anaknya yang sakit tidak diindahkannya. Impian hidup enak, kaya dan mendapat uang jutaan sudah membuat Warti tidak mempedulikan anaknya hingga menyobek buku nikah mereka.

Dan berakhir tragis, kematian anak Sunarya, membawa Sunarya dalam kematian yang sama menyusul anaknya.

5. Tiga Lelaki yang Memberikan Cahaya

Cerpen karya Gola Gong ini berbeda dengan beberapa karya sebelumnya. “Tiga lelaki yang memberikan cahaya” adalah sebuah cerpen hikmah tentang betapa pentingnya arti keluarga.

Cerita kehilangan seorang ibu menjadi hal berbeda, dan seorang ibu harus kehilangan tiga lelaki yang disayanginya:

  • Sang suami, meninggal lima tahun lalu, mobil suaminya tergelincir masuk jurang di daerah Padalarang. Sopir dan suaminya meninggal.
  • Si sulung dua tahun kemudian, anak lelaki pertamanya, hilang di Gunung Pangrango. Lima hari kemudian tim SAR menemukan si sulung tewas di dasar jurang sambil memeluk ransel.
  • Si bungsu Rudi, tewas dipangkuannya di ruang gawat darurat. Kaca mobil telah merajam lehernya, sehingga si bungsu sulit bernapas.

Ketiga lelaki itulah yang memberikan cahaya saat masih hidup. Sang suami yang selalu mengajarkan pada putranya tentang bersyukur atas apa yang sudah Alloh berikan dan bersabar jika sesuatu yang diinginkan belum dicapai.

Pada anak pertama sang ibu diajarkan tentang bagaimana memahami perilaku anak zaman sekarang itu mudah jika ada dialog atau keterbukaan.

Pada si bungsu, sang ibu mendapat pelajaran tentang keihlasan menjadi seorang kepala sekolah.

6. Seulas Senyum di Awan Mendung.

Cerpen karya RG Kedung Kaban ini menceritakan sebuah keluarga menengah yang sedang diuji kesabarannya. Seorang suami, bapak dua orang anak Wan dan Novi diuji terpesona dengan seorang wanita yang akhirnya menjadi istri mudanya.

Dan tentu saja terjadi pertengkaran antara Ayah dan Ibu Wan, saat tahu kalau gaji bulanan bapak bulan ini harus diberikan untuk biaya masuk sekolah anak dari istri muda bapaknya.

Kesabaran sang ibu hingga menjadi pembantu rumah tangga, mengetuk hati Wan, yang membuat Wan mau bekerja meskipun hanya bekerja di warung bakso ‘Medi’, setelah pulang sekolah. Hal ini membuat kehidupan keluarganya menjadi hidup kembali.

Dan pada suatu ketika, seorang polisi datang yang mengabarkan Bapaknya kecelakaan, peristiwa ini menjadi awal sadarnya sang bapak untuk kembali pada keluarga kecilnya.

7. Fay Si Heroik

Cerpen karya Wangsa Nestapa seolah ingin memberitahu kita bagaimana mendidik anak yang benar dan baik.

Dalam kisah ini, jangan membayangkan Fay adalah seorang pahlawan yang menumpas kejahatan, namun Fay adalah anak yang masih kecil dan baru duduk di kelas nol besar TK Tunas Bangsa.

Baca juga: Resensi Novel “Eat, Pray, Love”

Fay adalah putra dari Pak Gebar dan Bu Farah. Sebagai anak yang dianggap memiliki kelebihan oleh ayahnya, tentu saja hal ini bermula dari pendidikan Pak Gebar yang memberi kekebebsana pada anak, teruyama kebebasan mengutarakan keinginan dan cara belajarnya.

Hal ini berakibat fatal, saat itu Fay sedang bermain dan memimpikan menjadi Superman. Dan karena menganggap dirinya sebagai Superman, Fay pun menaiki tangga dan kemudian mencoba terbang  mengikuti gaya tokoh favoritnya.

8. Seroja.

Cerpen karya Najwa Fadia ini sedikit berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Cerpen ini memberikan hikmah tentang kesabaran, ketulusan dan kesetiaan. Tidak hanya itu, kesabaran Mae, istri Mas Bram menjadi kunci kekuatan keluarga dalam menghadapi segala ujian hidup.

Kesabaran dan keyakinan pada Alloh atas ujian membuat kita tahu bahwa Alloh selalu memberi yang terbaik untuk hambanya.

9. Bandot

Dari 9 cerpen yang disajikan, baru cerpen karya Firman Venayaksa ini yang terbilang cukup kocak. Terdapat pengalaman terbaik yang bisa diambil dari akhir cerpen ini, yaitu saat ingin melakukan  sesuatu, segera lakukan, urusan hasil urusan nanti.

Hal ini bisa terlihat dari akhir cerpen ‘Bandot’ ini, dimana sang cucu yang disebut dengan monyet  kalah cepat dengan kakeknya, yang disebut sang cucu dengan kakek bandot ini.

Harapan untuk berkenalan dengan “Hasanah”, sosok perempuan dengan kerudung putih yang cantik harus terhempaskan dengan keberanian Kakek Bandot yang akan menjadi nenek tiri si cucu yang disebut denagn monyet ini.

10. Tuhan Berilah Aku Uang.

Cerpen karya Aji Setiakarya melengkapi 9 cerpen yang sudah disampaikan di atas. Sama halnya dengan beberapa cerpen sebelumnya yang mengambil topik kemiskinan yang menarik untuk diulas.

Cerita yang ditulis Aji Setiakarya bisa dikatakan unik, meskipun cerita ini sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat kalangan bawah, seperti yang dialami Satijo, karena istrinya harus dioperasi, setelah Mbok Inah dukun anak di kampung tidak berhasil mengeluarkan bayi yang dikandung istrinya.

Dan tentu saja agar istrinya bisa dioperasi, untuk menyelamatkan istri dan anak dalam kandungan, Satijo harus mencari uang kesana kemari meskipun berhutang.

Sepertinya di balik kesulitan ada kemudahan, menjadi rejeki tidak terduga dan tak disangka-sangkanya. Di akhir cerita, saat Satijo sedang kelimpungan mencari pinjaman uang, tiba-tiba dirinya dipanggil Upik yang merupakan bandar togel yang menampung pemasangan togel tukang ojek pangkalan warung pojok.

Dan yang membuat Satijo terkejut dan tidak bisa menutup mulutnya sampai membentuk huruf “O” yaitu saat Upik mengatakan “selamat, kamu mujur... Nomor pasanganmu keuar Jo!”

Itu dia sedikit resensi buku “Harga Sebuah Hati” - Antologi Cerpenis Rumah Dunia. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi informasi untuk Anda.

Belum ada Komentar untuk "Resensi Buku “Harga Sebuah Hati”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel