Resensi Novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!”

Membaca karya tulis yang ditulis seorang penulis ternama tentunya menjadi hal yang membuat penasaran dengan isi tulisan tersebut, apalagi tulisan tersebut adalah tulisan tentang sebuah karya fiksi yang akan menghibur setiap pembacanya. Djenar Maesa Ayu dengan karyanya ini menambah kekayaan karya sastra di Indonesia. Begitu pula dengan resensi novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!”.

Resensi ini memberikan sedikit informasi dari isi cerpen tersebut yang menceritakan tentang realitas yang memprihatinkan tentang tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, ditambah dengan minimnya edukasi masyarakat terhadap hak asasi manusia yang seharusnya dimiliki secara individu.

Resensi Novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
Kumpulan cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet!” 

Identitas Buku:
Judul: Mereka Bilang, Saya Monyet!
Penulis: Djenar Maesa Ayu.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama.
Tahun terbit: Cetakan Ketujuh Desember 2004.
Tebal buku: 150 halaman.
ISBN: 979-686-993-4.

Resensi Buku “Mereka Bilang, Saya Monyet!”

Tulisan Djenar Maesa Ayu memang menarik dan memberikan informasi, hal ini sejalan dengan yang disampaikan Sutardji Calzoum Bachri, salah satu sastrawan yang dikagumi Djenar. Cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan “Mereka Bilang, Saya Monyet!” ini berkisar atau berlatar belakang tentang anak-anak yang masih sangat remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtua, atau karena ibu atau ayah yang lebih mementingkan serta asyik dengan diri sendiri atau karena telah kehilangan orang tua di masa yang sangat muda, atau yang disebabkan pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya.

Baca juga: Resensi Novel “Pintu”.

Terdapat 9 cerpen yang disampaikan dalam kumpulan cerpen ini, berikut media yang telah menerbitkannya, antara lain:

  1. LINTAH, diterbitkan oleh Harian KOMPAS. Minggu, 27 Mei 2001.
  2. MELUKIS JENDELA, diterbitkan oleh Majalah Sastra Horison,Edisi November 2001.
  3. DURIAN, diterbitkan oleh Harian Media Indonesia Minggu, 20 Januari 2002.
  4. MEREKA BILANG, SAYA MONYET!, diterbitkan oleh Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 1/ Februari 2002.
  5. MENEPIS HARAPAN, diterbitkan oleh Harian Republika, Minggu, 24 Maret 2002.
  6. WONG ASU, diterbitkan oleh Harian Lampung Post Minggu, 24 Maret 2002.
  7. WAKTU NAYLA , diterbitkan oleh Harian KOMPAS, Minggu, 31 Maret, 2002.
  8. ASMORO, diterbitkan oleh Harian KOMPAS, Minggu, 28 Juli 2002.
  9. MANUSYA DAN DIA, diterbitkan oleh Majalah A+, Agustus 2002.

Cerpen-cerpen karya Cerpen Djenar Maesa Ayu memang sangat imajinatif, hal ini bisa dilihat dari berbagai kisah cerita didalamnya, antara lain:

  • Cerpen “LINTAH”.

Dunia anak-anak adalah dunia yang kaya dengan imajinasi. Maka adalah wajar dalam menghadapi penindasan dari ibunya dan pacar sang ibu, sang anak dalam cerpen “Lintah” langsung melebih-lebihkan ikhwal, yang mengatakan, “Ibu saya memelihara seekor Lintah” dan seterusnya ia mendongeng tentang kecintaan sang ibu kepada lintah lebih daripada diri sang anak tentang lintah yang bisa membesar menjadi ular atau membelah dirinya menjadi banyak ular, tentang hubungan intim antara lintah itu dengan ibunya, tentang lintah yang ular itu menggerayangi tubuhnya diam-diam dan memperkosanya. Dan bahkan akhirnya lebih dari itu, sang ibu mengandung karena lintah dan berniat mengawini hewan tersebut.

Dalam cerpen “Lintah” imajinasi berperan sebagai pembesaran terhadap realitas. Dengan pembesaran ini sang anak mengharapkan simpati dari para pendengar kisah, yang mungkin akan membebaskannya dari realitas yang pedih. 

  • Cerpen “MELUKIS JENDELA”.

Dalam “Melukis Jendela”, Mayra yang tak pernah melihat ibunya dan selalu tidak mendapatkan kasih sayang ayah, berusaha menyelamatkan diri sendiri lewat imajinasi dengan melukis ayah dan ibunya yang dari imajinasinya itu (lukisan ayah ibu) dia berangan-angan mendapatkan kasih sayang orangtuanya. Gagal dengan lukisan ayah ibu, ia melukis jendela yang memberikan kebebasan kepada dirinya. Lewat lukisan jendela itu ia bisa mendapatkan ventilasi kebebasan perasaan dan bahkan bisa melakukan pembalasan imajinatif terhadap teman-teman sekolah yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.

Akhirnya bisa dikatatakan, terinspirasi dari lukisan jendelanya ia mengambil tindakan nyata dengan membebaskan diri dari kenyataan yang menghimpitnya. Ia meninggalkan rumah dan Mayra tidak pernah kembali.

  • Cerpen “DURIAN”.

Dalam cerpen “Durian”,  realitas adalah respons dari imajinasi. Hyza, tokoh dalam “Durian” adalah korban dari penafsiran terhadap imajinasinya (mimpi). Hampir seluruh aktivitas hidupnya sehari-hari disibukkan antara keinginan untuk memiliki durian yang berasal dari mimpinya dan upaya menahan diri untuk tidak memakannya. la menafsirkan mimpinya, kalau ia memakan durian yang berasal dari mimpi, anak-anaknya akan terkena penyakit kusta. Hyza adalah korban dari penindasan hasrat. Dan untuk itu ia harus dihukum. Karena menindas hasrat sendiri adalah suatu pelecehan juga serta dianggap suatu kemunafikan. Meski ia tidak memakan durian dan hanya menyimpannya, ia tetap mendapat hukuman. Ketiga anaknya menderita penyakit kusta. Hyza adalah korban dari kerasukan imajinasinya sendiri.

  • Cerpen “WONG ASU”.

Yang menceritakan tentang korban imajinasi. Cerita dalam “Wong Asu” ingin mendedahkan ikhwal imajinasi (fiksi) secara tersamar. Bagaikan Adam yang dikutuk turun ke bumi, realitas adalah dalam cerpen “Wong Asu” kutukan tersebut ditampillkan sebagai tingkah orang tua Wong Asu, dengan cambuk di tangan ibunya dan rotan di tangan ayahnya, memaksa Wong Asu bersetubuh dengan pasir ketika ia masih kecil. Suatu estafet kegetiran dari realitas yang sebelumnya juga dirasakan oleh kedua orangtua Wong Asu menyarankan takdir dari kepahitan realitas sebagai kutukan terhadap manusia sejak berada di muka bumi seperti yang menyaran dalam ungkapan ini: “Mereka keluarga terkutuk. Orangtua Wong Asu mengalami pengalaman batin yang sama waktu mereka kecil dengan cara yang berbeda.” 

  • Cerpen “ASMORO”.

Cerpen “Asmoro” juga berkisah tentang imajnasi. Cerpen ini adalah kisah pengarang yang kerasukan menulis. la terobsesi dengan imajinasinya sendiri. Sudah dua ratus halaman ditulis, cerita hampir selesai dan akan tiba saat berpisah dengan imajinasinya: “Asmoro waktu kita hampir habis”. Timbul pergulatan dalam dirinya: keinginan berlama-lama bersama imajinasinya dan keinginan menyudahi cerita agar menjadi selesai sempurna. Jika ia akhiri, ia akan mendapatkan cerita yang utuh: “Keinginan yang meledak-ledak untuk segera berjumpa dan keinginan untuk lebih lama bersama, bagaikan satu mata koin dengan sisi berbeda. Betapa pun besar usaha mereka untuk memperpanjang kebersamaan, sebesar itu pulalah usaha mereka untuk segera menyudahi”. “Asmoro” penuh dengan ungkapan atau deskripsi yang berlebih-lebihan (hiperbolik).

  • Cerpen “WAKTU NAYLA”.

Cerpen “Waktu Nayla” berkisah tentang ‘seputar renungan’, tentang waktu, cerpen dimulai dengan menampilkan perbedaan antara waktu berdasarkan suasana alam dengan waktu objektif (arloji). Nayla melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun langit begitu hitam. Waktu sebelum tahu dirinya kena kanker yang memvonisnya mati setahun lagi, bagi Nayla waktu adalah sarana yang netral dan objektif yang memudahkannya untuk melakukan berbagai aktivitas dan rutinitas kehidupan sehari-hari. Diselang-selingi dan tumpang tindih dengan waktu sebagai debar sebagai sesuatu yang subyektif dan emosional sebagai suatu gairah sebagai kenikmatan atau pun harapan: “Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa Kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One, atau piala dunia di Sports Bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika memasang celemek di paha kekasih dengan tangan gemetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar....”.

Baca juga: Resensi Novel “Eat, Pray, Love”.

Bagi Nayla yang lebih meresahkannya bukanlah waktu objektifnya yang tinggal setahun lagi, tapi terutama adalah waktu subjektif yang terlupakan: “...waktu mengalir dalam lautan debar, samudera getar cakrawala harapan”. Maka dalam sisa hidup yang singkat itu, ia ingin menciptakan kembali waktu debar, penuh gairah, penuh harapan dan imajinasi: “Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar. la ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. la ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. la ingin ngebut tanpa menggunakan sabuk pengaman. la ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. la ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. la ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. la ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda, dan beruang, masing-masing satu pasang. la ingin berhenti minum susut perut dan sari rapet. la ingin makn soto betawi sekaligus dua mangkok besar.la ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan di waktu malam”. Dan ia “Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sendiri sesali tidak sempat ia lakukan”.

Kelebihan Novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!”

Berbicara tentang cerpen yang merupakan bagian dari sebuah karya sastra maka apa yang ditulis Djenar Maesa Ayu ini adalah kepiawaiannya dalam berbahasa yang kuat. Bahasanya kuat dan padat. Itulah kecenderungannya. la tidak menyia-nyiakan kata-kata untuk segera secara jitu menyampaikan ikhwal atau peristiwa. 

Itu dia, sedikit resensi novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!” karya Djenar Maesa Ayu, semoga bermanfaat, menghibur dan menginspirasi kita semua. 

Belum ada Komentar untuk "Resensi Novel “Mereka Bilang, Saya Monyet!”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel