Resensi Buku “Adversity Quotient”

Setiap orang pasti pernah mengalami kesulitan, yang menjadi penting adalah sikapnya dalam menghadapi kesulitan. Ada yang banyak mengeluh, ada yang cuek-cuek saja, atau menikmatinya dan menganggap kesulitan adalah bagian dari hidup. Resensi buku “Adversity Quotient” akan memberikan Anda sedikit bayangan bagaimana menghadapi kesulitan tersebut.

resensi-buku-adversity-quotient
Foto: bukalapak.com

Tangguh menghadapi kesulitan menjadi ide dasar lahirnya buku ini. Ketidakberdayaan yang dipelajari (KYD) menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient adalah suatu sikap yang menginternalisais sebuah keyakinan.

Resensi Buku Non Fiksi “Adversity Quotient”

Apa itu dan bagaimana sikap menginternalisasi keyakinan? Apa yang Anda kerjakan tidak akan ada manfaatnya, dan hal ini melenyapkan kemampuan seseorang untuk memegang kendali.

Terdapat hubungan kausal antara sifat KYD dengan depresi. Jika Anda memiliki keyakinan bahwa setiap apa yang Anda lakukan tidak ada gunanya, maka Anda akan mudah terkena depresi. Yang menakutkan, orang yang menderita KYD ini akan lebih cepat mati!

Bagi mereka yang memiliki tingkat Adversity Quotinet yang tinggi, hari yang buruk, adalah hari yang buruk, bukannya sebuah kemunduranyang besar. Konflik dengan seseorang yang dikasihi adalah kesalahpahaman, bukan hancurnya hubungan.

Baca juga: Resensi Buku “Every Business Needs an Angel”.

Sebaliknya mereka yang memiliki AQ yang rendah akan memandang kesulitan sebagai sesuatu yang mengancam, misalnya kecaman atasan dianggap sebagai hancurnya karier, kerugian finansial dinilai sebagi kebangkrutan.

Mereka yang mengangap bahwa kesulitan itu bersifat menetap (permanen), internal (penyebabnya mutlak dirinya sendiri) dan bisa meluas ke bidang-bidang lainnya, akan cenderung menderita di semua bidang kehidupan.

Sedangkan mereka yang menganggap situas-situasi sulit sebagai sesuatu yang eksternal (di luar sana, bukan mutlak salah Anda), sementara (tidak akan selamanya) dan terbatas (hanya kali ini saja, atau bidang itu saja, orang demikian akan menikmati banyak manfaat mulai dari kinerja sampai kesehatan.

Setelah berkembangnya konsep IQ dan EQ yang sudah dikenal selama ini, saat ini sedang berkembang konsep baru yang disebut sebagai AQ, yang merupakan kecerdasan dalam menghadapi kesulitan atau hambatan.

Dalam konsep ini ditemukan apa yang sebenarnya membuat seseorang bisa bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.

IQ merupakan kecerdasan yang terukur, dan dipengaruhi oleh faktor keturunan, sedangkan EQ merupkan kemampuan seseorang untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan hati, sadar diri, bertahan dan bergaul secara efektif dengan orang lain.

Mengapa ada orang yang mampu bertahan, sedangkan yang lainnya gagal, padahal keduanya memiliki otak yang brilian dan pandai bergaul? Jawabnya terdapat pada Adversity Quotieny atau disingkat dengan AQ, yaitu sikap bagaimana seseorang menghadapi kesulitan atau dalam buku ini memakai istilah ‘pendakian’.

Dalam arti yang luas, pendakian merupakan menggerakkan tujuan hidup seseorang ke depan, apa pun tujuan itu, seperti mendapatkan pangsa pasar, nilai yang lebih bagus, memperbaiki hubungan dengan relasi, mendekatkan diri pada tuhan atau pun memberikan kontribusi yang berarti bagi kehidupan.

Paul G. Stoltz menggolomgkan sikap menghadapi kesulitan menjadi 3 macam, yaitu:

  • Kelompok Quitters atau orang yang berhenti. 

Mereka ini menolak kesempatan, mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti manusiawi.

Quiters menjadi sinis, pemurung dan mati perasaannya, pemarah dan frustasi, menyalahkan semua orang yang ada disekitarnya dan membenci orang yang terus mendaki potensi untuk menjadi pecandu obat dan pelanggan dari acara TV tidak bermutu.

Quiters bekerja sekedar cukup untuk hidup, memperlihatkan sedikit ambisi, semangat yang minim, mutu di bawah standar, mengambil risiko sesedikit mungkin, tidak kreatif, kecuali saat menghindari tantangan yang besar.

  • Campers atau mereka yang berkemah.

Mereka pergi tak seberapa jauh, kemudian berkata: “Sejauh ini sajalah aku mampu atau ingin mendaki” karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya kemudian mencari tempat yang datar, aman, nyaman, sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat.

Ia tidak menggunakan seluruh kemampuannya, hanya memgerjakan agar dia tetap dipekerjakan saja.

  • Climbers atau Si Pendaki.

Yaitu orang yang seumur hidupnya membaktikan dirinya pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Ia adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau hambatan lain menghalanginya.

Untuk semua hal yang dikerjakannya, mereka benar-benar memahami tujuannya, dan bisa merasakan gairahnya. Mereka bisa merasakan kegembiraan sesungguhnya.

Climbers ini tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang, dan langkah-langkah kecil sekarang ini akan membawanya pada kemajuan-kemajuan lebih lanjut di kemudian hari.

Merek bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan bertujuan untuk mendapatkan yang terbaik, membaktikan diri pada pertumbuhan, dan terus mencari cara-cara baru untuk tumbuh dan berkontribusi didalamnya.

Semoga sedikit informasi tentang “resensi buku - Adversity Quotient” ini bermanfaat dan menjadi referensi bagi Anda yang ingin mendapatkan manfaat terbaik dari buku ini.

Belum ada Komentar untuk "Resensi Buku “Adversity Quotient”"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel