Carok, antara Tradisi dan Harga Diri

Beberapa minggu lalu terdengar kabar menggemparkan atas peristiwa carok di daerah Tanjung Bumi, Bangkalan, 2 vs 4, yang menewaskan 4 orang lawannya. Hal ini tentu membuat banyak orang penasaran dengan istilah “carok”. Apa sebenarnya carok itu? Dan hal ini pula yang membuat kami mencari referensi dengan tema “Carok, antara tradisi dan harga diri”.

Keingintahuan dan rasa penasaran tersebut, membawa kami pada referensi artikel yang ditulis oleh J. Sumardianta di Yogyakarta yang pernah dimuat dalam Majalah Intisari Edisi No. 518. Dan yang menarik dasar penulisan artikel itu pun bersumber dari buku karya A. Latief Wiyata, dengan judul ‘Carok: Konflik, Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura” yang diterbitkan oleh Penerbit LKiS (Yogyakarta, Mei 2006),

carok-maut-di-bangkalan-4-orang-tewas
Ilustrasi/Film Carok karya Institut Kesenian Jakarta

Buku karya A. Latief Wiyata itu sendiri merupakan suntingan disertasi saat meraih gelar doktor anthropologi sosial di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 2001. Dan A. Latief Wiyata merupakan peneliti asli Madura dan juga dosen Universitas Jember.

Carok adalah Tradisi Mempertahankan Harga Diri Orang Madura

Di dalam bukunya, Latief Wiyata, menyampaikan bahwa sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 1994 dalam penelitiannya di Bangkalan, menyatakan bahwa kebanyakan aksi carok terjadi karena perlindungan laki-laki terhadap miliknya yang paling berharga, yaitu istri, dengan prosentase 60,4%. Kemudian disusul carok yang disebabkan karena salah paham sebesar 16,9%, masalah utang piutang sebesar 9,2%, baru kemudian persoalan tanah warisan sebesar 6,7%.

Pelecehan terhadap harga diri, terutama gangguan kepada istri, membuat lelaki Madura menjadi malo (malu), todus (dilaknat aib), tada’ ajina (direndahkan martabatnya). Untuk itulah, tambana todus, mate (obat malu, tiada lain kecuali mati).

Pada dasarnya, carok adalah refleksi monopoli kekuasaan laki-laki. Hal ini ditandai dengan perlindungan yang berlebihan terhadap perempuan, yang tampak dalam model pakaian ketat perempuan dan gombrong untuk laki-laki, pola pemukiman kampung meji dan taneyan lanjang, serta kebiasaan perkawinan antar keluarga.

Baca juga: Keris, Warisan Budaya Indonesia yang Diakui Dunia.

Kampung Meji merupakan kumpulan pemukiman penduduk desa yang satu dengan lainnya saling terisolasi. Hal ini mengakibatkan solidaritas internal antar penghuni kampung sangat kuat, sedangkan solidaritas dalam lingkup sosial yang lebih besar cenderung rendah.

Tentu saja, hal ini membuat peluang kekerasan masal dan disintegrasi sosial antar kampung sangat mudah terjadi. Pelecehan atas salah satu anggota komunitas yang dimaknai sebagai perendahan martabat seluruh warga sebuah kampung meji.

Kondisi arsitektur rumah kampung meji dengan satu pintu menghadap ke selatan yang mengindikasikan kehidupan penduduk desa di Madura yang selalu dicekam rasa tidak aman.

Berdasarkan posisi itu layaknya orang mati membujur ke utara, dalam keadaan tidur pun orang Madura harus mengawasi pintu rumahnya.

Sedangkan taneyan lanjang (pola pemukiman dengan halaman memanjang) dibangun oleh keluarga yang memiliki banyak anak perempuan.

Sistem kekerabatan Madura sejatinya adalah bercorak patrilineal, namun pola menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu menantu lelaki hidup di lingkungan keluarga istri. Rumah-rumah pun dibangun untuk anak perempuan yang sudah berkeluarga.

Hal ini menjadikan anak perempuan dalam pemukiman taneyan lanjang mendapat perlindungan khusus dari segala bentuk pelecehan seksual. Semua tamu lelaki hanya diterima di surau yang terletak di ujung halaman bagian barat.

Pada etnis Madura, memandang fungsi perkawinan tidak hanya sekedar menyalurkan kebutuhan ekonomi, afeksi, seksual, perlindungan dan penentu status anak, namun juga manifestasi maskulinitas.

Seorang lelaki Madura baru akan menemukan eksistensinya bila sudah berkeluarga. Bahkan dalam salah satu responden, pelaku carok berkata, “Saya menikah dihadapan penghulu, disaksikan banyak orang, dan memenuhi hukum agama. Jadi, barang siapa mengganggu istri saya, berarti melecehkan agama dan menginjak-injak kepala saya”.

Istri merupakan perwujudan dari kehormatan kaum laki-laki, karena istri adalah bantalla pate (alas kematian). Menganggu istri merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura. Namun, sialnya kasus perselingkuhan yang berujung carok, justru mudah terjadi di Madura, karena perempuan tradisional Madura kebanyakan sudah sejak kecil dijodohkan oleh orang tua mereka. Maka tidak aneh jika ada istri yang berselingkuh dengan bekas lelaki idamannya, saat suaminya merantau ke Malaysia atau Timur Tengah.

Carok Madura adalah Manifestasi dan Realitas Sosial sebagai Perwujudan Harga Diri

Tertanamnya kata carok dalam benak setiap lelaki Madura juga didukung oleh banyaknya ungkapan yang “memberikan persetujuan sosial” dan “pembenaran kultural” untuk berangkat carok.

Selain mon lo’bangal acarok ja’ngako oreng Madura, masih ada lagi ungkapan oreng lake’mate acarok, oreng bine’mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena persalinan), atau ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada menanggung aib).

Baca juga: Tari Remo, Sejarah dan Perkembangannya Saat Ini.

Carok sebagai manifestasi dan realitas sosial seolah telah diterima sebagai kesepakatan umum. Apalagi pelaku carok yang berhasil menewaskan lawan tidak disebut sebagai pembunuh, melainkan blater (jagoan), terutama bila dilakukan secara kstaria (ngonggai), berhadapan satu-satu dan sama-sama bersenjata, bukan menikam musuh dari belakang (nyelep).

Di zaman sebelum kemerdekaan, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Namun semenjak dekade 1970-an, carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep.

Di Madura seorang lelaki penakut (tako’an) akan diledek sebagai keturunan manusia yang tidak memiliki empedu. Kaum perempuan biasanya menyindir tako’an dengan ungkapan, “Sayang aku perempuan, andai memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja, aku pasti akan melakukan carok”.

Di Pamekasan dan Sumenep, tako’an dijuluki odi’ka colo’, sedangan di Bangkalan dan Sampang, dijuluki olle petta. Dua julukan itu sama, yaitu orang banyak bicara, suka mengumpat, dan memaki tetapi pengecut!

Carok berkembang menjadi arena reproduksi kekerasan yang mencetuskan spiral kekerasan baru (carok turunan), yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi maupun kegiatan bermakna ritual. Darah yang belepotan di celurit yang habis dipakai carok, akan dijilati pemiliknya bila memenangi pertarungan. Dan ini adalah manifestasi ungkapan lokana daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tanbana kajaba ngero dara’ (luka badan masih bisa dijahit, tapi sakit hati tiada terapinya, kecuali minum darah).

Biasanya dokter dan paramedis tidak memberi bius saat membedah atau menjahit luka pelaku carok. Pengobatan dengan serampangan ini dilakukan agar pelaku carok jera dan bertobat. Namun pada kenyataannya, bekas luka yang tampak menonjol karena jahitan kasar itu malah membuat senang para pelaku carok.

Korban carok yang meninggal terutama blater, tidak dikubur di pemakaman umum, melainkan di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumuran darah disimpan dilemari khusus, agar pengalaman traumatik itu terus bersemayam di hati anak cucu.

Pembengkokan Makna atas Carok

Sejak tahun 1970-an, carok telah mengalami pembengkokan makna. Dari mekanisme pertolongan diri menuju ritus kesewenang-wenangan balas dendam dan melulu penyaluran agresi dalsm bentuk pembunuhan sepihak.

Carok memberlakukan prinsip keadilan paling telanjang dan paling dasar: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Mon oreng aotang nyaba, enggi kodu majar nyaba (barang siapa berhutang nyawa, harus membayarnya dengan nyawa pula).

Oleh karena itu, untuk menghentikan carok, A. Latuef Wiyata memberi rekomendasi: mafia peradilan (polisi, jaksa, dan haim) yang melembagakan nabang (suap) bersama kaum blater harus diberantas dan dihukum seberat-beratnya. Hal ini disebabkan karena pelaku carok yang mestinya dihukum 20 tahun biasanya hanya divonis 5 tahun. Bahkan kaum ulama pun ditagih totalitasnya dalam manajemen konflik, agar rantai kekerasan ini tidak lepas kendali.

Itu dia sedikit informasi tentang “Carok, antara tradisi dan harga diri”. Semoga informasi tersebut bermanfaat dan menjadi referensi dan mengetahui asal mula awal terjadinya carok.

Belum ada Komentar untuk "Carok, antara Tradisi dan Harga Diri"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel